Selasa, 13 Juni 2017

Asy'ariyah, Analisis Ajaran dan Pengaruhnya



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ada beragam aliran teologi yang berkembang dalam agama Islam dan tumbuh subur serta memiliki sejarah, pemikiran dan pengaruh yang berbeda-beda. ada yang lahir karena pengaruh politik. Seperti aliran Khowarij, Syiah, Murji’ah dan lain sebagainya. Ada pula yang lahir dari pemikiran, bukan dari politik, sebagaimana Mu’tazilah, Maturidiyah ataupun asy’ariyah.
Salah satu dari aliran yang ada dalam agama islam yang lahir karena alasan agama, bukan politik adalah Asy’ariyah. Aliran ini merupakan aliran dari para pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Aliran Asy’ariyah dikatakan sebagai aliran yang termasuk dalam ahlussunnah waljama’ah. Aliran ini dianggap tepat dalam memposisikan akal dan wahyu. Asy’ariyah juga dianggap rasional dalam menjelaskan konsep ketuhanan serta hal-hal yang menjadi perdebatan diantara ulama ahli kalam.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan secara singkat dan sederhana tentang sejarah, pemikiran, ajaran ataupun doktrin-doktrin serta pengaruh dari aliran asy’ariyah itu sendiri.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan. Dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut,
1. Bagaimana penegertian dan sejarah aliran Asy’ariyah ?
2. Bagaimana ajaran aliran Asy’ariah ?
3. Bagaimana pengaruh dari aliran Asy’ariyah ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Sejarah Aliran Asy’ariyah
            Madzhab Asy’ariyah adalah madzhab teologis yang dinisbatkan terhadap pendirinya, Imam Abu Hasan Al – Asy’ari. Nama lengkap beliau ialah Abu al – Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al – Asy’ari. Ia masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa al-Asy’ari. Seorang utusan Tahkim dalam peristiwa perang shiffin dari pihak Sayyidina Ali.[1] Dari beberapa riwayat, al – Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M. setelah berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/ 935 M.[2]
Ayah al – Asy’ari adalah penganut paham Ahlu Sunah sekaligus ahli Hadits, ia wafat ketika al – Asy’ari masih kecil. Sebelm wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabat nya yang bernama Zakaria bin Yahya as – Saji agar mendidik al – Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al – Juba’i ( W 303 H/915 M ). Berkat didikan ayah tirinya al – Asy’ari menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan al – Juba’i dalam perdebatan menentang lawan – lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya.
 Al-Asy’ari keluar dari kelompok mu’tazilah pada usia 40 tahun. Adapaun yang melatarbelakangi al-Asy’ari keluar dari mu’tazilah, yang pertama, ketidakpuasan al-Asy’ari terhadap ideologi Mu’tazilah. Yang mana ideologi tersebut selalu mendahulukan akal atau rasio dalam berargumen. Ajaran-ajaran yang diperoleh al-Asy’ari dari al-Juba’i menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaian yang memuaskan.[3] Kedua, al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi. Dalam mimpi itu Nabi mengatakan untuk kembali pada ajaran ahlussunnah wal jamaa’ah. Ia bermimpi sebanyak tiga kali. Pada waktu itu, bertepatan pada bulan Romadlon. Pada mimpi terakhirnya ia mendapat kesempurnaan akan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Mu’tazilah mengenai ru’yah (melihat Allah di akhirat) syafa’at dan lain-lain.[4]
Setelah keluar dari aliran Mu’tazilah, al-Asy’ari mulai meyebarkan ajaran-ajarannya mengenai teologi di Bashrah. Selain itu, ia juga mendatangi majlis-majlis ahli bid’ah dan melakukan perdebatan dengan mereka.
Sejarawan terkemuka, yakni Ibnu Khaldun menyatakan bahwa setelah al-Asy’ari keluar dari paham Mu’tazilah, ia mengikuti madzhab Abdullah bin Sa’id bin Kullab, al-Qolanisi dan al Muhasibi. Yang merupakan pengikut salaf dan ahlussunnah. Al asy’ari mengikuti metodologi yang digunakan para ulama besar antara lain, al-Imam al-Bukhori, Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Khotthon al-Tamimi.
Al-asy’ari memiliki banyak karya dalam bentuk karya ilmiah. Tidak kurang dari 90 kitab karya miliknya. Ada empat kitab karyanya yang terkenal dalam ilmu kalam. Yaitu, Maqalat al-islamiyin wa ikhtilaf al-mushollin, al-ibanah an ushul al-diyanah, al-Luma’ fi al-raddi al-zaighi wa al-bida’i. risalah fi istihsan al-khaudl fi Ilm al-kalam.[5]
Adapun tokoh-tokoh pengikut madzhab Asy’ariyah adalah[6]:
1. Abu Bakar al-Baqilani (403 H/1013 M)
2. Abu al-Ma’ali atau Imam al-Haromain (478 H/1058 M)
3. Al-Ghozali (505 H/1111 M)
4. al-Syahrastani (548 H/1153 M)
5.Fahruddin al-Rozi (606 H/1209 M)
B.     Ajaran-ajaran Aliran Asy’ariyah
Ajaran-ajaran Asy’ariyah timbul akibat reaksi terhadap ajaran Mu’tazilah. Adapun ajaran dari Asy’ariyah sebagai berikut[7],
a. Tuhan dan Sifatnya
            al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrim. Yaitu kelompok Sifatiyah, Mujassimah dan kelompok Musyabbihah yang memaknai sifat Allah yang terdapat dalam Alquran secara harfiyah. Yang mana pendapat tersebut ditentang oleh al-Asy’ari. Ia berpendapat bahwa sifat Allah tidak bisa disamakan dengan sifat makhlukNya.
b. Kebebasan dalam Berkehendak
            dalam hal ini al-Asy’ari mencoba meng-counter ajaran Jabariyah dan Mu’tazilah. Dari dua pendapat tersebut al-Asy’ari membedakan antara kholiq dan kasb. Menurutnya, Allah sebagai pencipta (kholiq) sedangkan manusia yang mengupayakannya (muqtashid).
c. Akal dan Wahyu
            Al-Asy’ari mengakui adanya akal dan wahyu. Dalam menentukan suatu hal yang bersifat  kontradiktif, al-Asy’ari lebih mengutamakan wahyu yang dalam hal ini berbeda prinsip dengan ajaran Mu’tazilah yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu.
d. Qodimnya Alquran
            Al-Asy’ari berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk. Sedangkan al-Asy’ari berpendapat bahwa Alquran sebagai kalamullah adalah qodim. Dalam hal ini al-asy’ari didukung pandangan madzhab Hanabilah dan Dhohriyah yang mengemukakan bahwa semua yang ada di dalam Alquran mulai dari huruf, kata dan bunyi Alquran sendiri adalah qodim.
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari menyangkal adanya pendapat dari Mu’tazilah dan Dhohiriyah yang berpendapat bahwa allah bersemayam di Arsy dan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah di Akhiirat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan.
f.            Konsep Keadilan
Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu maha adil. Perbedaan antara keduanya hanya dalam cara pandang memaknai keadilan. Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia. Dalam artian setiap yang berbuat baik akan mendapatkan pahala dan yang berbuat buruk akan mendapatkan dosa. Adapun al-Asy’ari berpendapat bahwa hal itu merupakan kuasa Allah yang mana ia adalah penguasa mutlak yang berhak menentukan antara pahala dan dosa.

C.    Pengaruh Asy’ariyah
Ajaran al-Asy’ariyah diidentikan dengan ahlussunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan bahwa pengaruh ajaran ahlussunnah wal jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal:
a.       Kepintaran Imam al-Asy’ari sebagai tokoh sentralnya dan keahliannya dalam perdebatan dengan basis keilmuan yang mendalam. Disamping itu ia adalah sosok yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
b.      Aliran Asy’ariyah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan penguasa yang sangat mempengaruhi dalam hal penyebaran aliran ini. Dengan adanya para penguasa yang mengikuti aliran ini, tentu membantu proses penyebarannya.
c.       Para tokoh Asy’ariyah tidak hanya ahli dalam memberikan argumen-argumen yang meyakinkan dalam mengembangkan ajarannya melalui perdebatan. Namun, mereka juga melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Kerya tersebut antara lain: maqalat al islamiyah, al ibanah an ushuliddiniyah, al-luma’,-ketiganya merupakan karya al-Asy’ari- ihya ulumuddin karya al-ghazali, aqidatu ahlu at-tauhid oleh al-Sanusi dan karya-karya lainya.
Pengaruh ahlussunnah wa al jama’ah, khususnya asy’ariyah, juga sampai ke Indonesia. Misalnya, NU secara formal menyatakan bahwa mengikuti ajaran ahlussunnah wa al jama’ah. Secara jelas NU menyatakan bahwa dalam urusan aqidah, NU mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam abu Mansur al-Maturidi.
Selain NU, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (persis) juga menyatakan secara tidak langsung mengikuti ideologi ini. Sebagaimana yang dinyatakan para tokoh maupun hasil dari majlis musyawarah dari masing-masing organisasi tersebut.[8]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
          Madzhab Asy’ariyah adalah madzhab teologis yang dinisbatkan terhadap pendirinya, Imam Abu Hasan Al – Asy’ari. Al-Asy’ari keluar dari kelompok mu’tazilah pada usia 40 tahun. Karena ia menemukan kejanggalan dari paham mu’tazilan dan tidak bisa dijawab oleh al-juba’i.
          Ajaran-ajaran Asy’ariyah timbul akibat reaksi terhadap ajaran Mu’tazilah. Diantaranya tentang Tuhan dan Sifatnya, Qadimnya Alquran, posisi akal dan wahyu, ru’yah (melihat Allah di akhirat), syafa’at dan sebagainya.
 Ajaran al-Asy’ariyah diidentikan dengan ahlussunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan bahwa pengaruh ajaran ahlussunnah wal jama’ah tidak terlepas dari beberapa hal. Seperti kemampuan para tooh asy’ariyah dalam perdebatan berbasis keilmuan yang mendalam, banyaknya intelektual dan penguasa yang membantu dalam menyebarkan paham asy’ariyah serta produktivitas dari para tokoh dari asy’ariyah yang turut membantu dalam penyebarannya.

B.     Kritik dan saran
Makalah sederhana ini pastilah mempunyai banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Maha Kuasa dan juga penulis masih dalam tahap belajar dan tentunya mengharapkan sekali kritik maupun saran dari pembaca yang dapat membangun dan mengembangkan kualitas penulis khususnya dalam menulis sebuah makalah.


[1] Sahilun A. nasir, pemikiran kalam, (jakkarta: rajagrafindo persada), 2012. Hlm. 201.
[2] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia), 2016, hlm 146.
[3] Harun nasution, Teologi Islam, (Jakarta: universitas Indonesia), 1972, hlm. 67
[4] Tim aswaja NU center PWNU jatim, khasanah aswaja,(Surabaya,PWNU jawa timur), 2016, hlm. 30
[5] Sahilun A. nasir, pemikiran kalam, hlm. 208-209
[6] Ibid, hlm. 34
[7] Ibid, hlm. 76
[8] http://faiqnooralfawwaz.blogspot.co.id/p/blog-page.html?m=1, diakses pada tanggal 16 Mei 2017 pada pukul 02:02 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar