BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW hingga masa Imam Syafi’i
terdapat kelompok fuqoha yang masyhur dengan pendapatnya.
Disisi lain, ada sekelompok fuqoha yang popular dengan periwayatan haditsnya. Sesungguhnya berbagai peristiwa dan kasus
dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari banyak sekali. Selain berpedoman
kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita juga membutuhkan ijma’ para Ulama. Maka dari
itu, dengan pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh
sehingga setiap permasalahan selalu dapat ditemukan solusinya.
Sementara itu, terbentuknya hukum syar’i
adalah untuk mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Segala
sesuatu yang mengandung maslahah maka terdapat dalil yang mendukungnya dan
setiap ada kemadharatan yang membahayakan, maka terdapat pula dalil yang
mencegahnya. Karena sesungguhnya maqsid asy-syari’ah ditunjukkan untuk
merealisasikan kebahagiaan haqiqi bagi mereka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian maslahah?
2.
Apa saja pembagian maslahah?
3.
Bagaimana pengertian maslahah mursalah?
4.
Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maslahah
Maslahah secara bahasa berasal dari kata صلح – يصلح menjadi صلحا atau
مصلحة yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maslahah
merupakan lawan dari mafsadah,sebab maslahah merupakan
ungkapan untuk perbuatan yang didalamnya
mengandung kemaslahatan atau kemanfaatan. Kata ini termsuk jenis majaz mursal
hubungan sebab-akibat. Maka dikatakan: at-tijaroh maslahah (berdagang
itu mendatangkan manfaat) tholabul ilmi maslahah (mencari ilmu itu
bermanfaat).[1]
Kata al-mashlahah
merupakan bentuk tunggal kata al-masholih. Segala sesuatu yang
didalamnya terdapat kemanfaatan, baik itu dengan cara diperoleh dan dihasilkan
seperti mendapatkan faidah dan kesenangan, atau dengan menolak seperti
menjauhkan diri dari hal-hal berbahaya dan penyakit, maka hal itu pantas
disebbut dengan maslahah.[2]
Mashlahah sering juga disebut dengan
istilah istidlāl, istislāh. Terhadap istilah ini ulama usul berbeda–beda
dalam memberikan definisi.[3]
Menurut istilah ulama ushul ada
bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya:
1. Imam Ar-Razi, mendefinisikan maslahah sebagai suatu kemanfaatan yang
ditujukan oleh pembuat syariat yang Maha Bijaksana kepada para hamba-Nya yang
meliputi penjagaan terhadap agama mereka, jiwa, akal, keturunan, dan harta
mereka sesuai dengan urutan yang ditentukan diantara mereka.
2. Imam Al-Ghazali, mengatakan bahwasannya maslahah adalah suatu ungkapan
yang pada asalnya untuk menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan.[4]
Dari dua definisi diatas mempunyai tujuan
yang sama, yaitu maslahah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu
menolak madharat dan meraih maslahah.
Secara radikal pengungkapan batasan tentang
mashlahah sebagaimana tersebut di atas berbeda satu sama lain, akan tetapi
kalau diteliti serta diperhatikan kesamaannya mempunyai arti dan maksud yang
sama dan saling lengkap-melengkapi satu sama lain dalam memperjelas pengertian
serta hakikat mashlahah. Hubungan ini dapat digambarkan sebagai berikut[5] :
1. Mashlahah adalah sesuatu yang tidak ditunjuk oleh
dalil tertentu tentang diakui tidaknya.
2.
Mashlahah harus sejalan dan senafas dengan maksud-maksud syara’
(Allah) dalam mensyari’atkan hukum.
3.
Mashlahah dalam realisasinya harus dapat menarik maslahah dan
menolak madarat.
4. Mashlahah harus dapat dicapai dan diterima secara
logis oleh akal sehat.
Dengan
tetap memperhatikan semua batasan yang tersebut di atas serta hubungannya satu
sama lain dapatlah disimpulkan bahwa Mashlahah menurut istilah malikiyah
dan istilah al-Ghazali adalah segala sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan
dan kepentingan manusia yang sejalan dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum dan
baginya tidak ada petunjuk syar’i yang menyatakan pengakuan dan penolakan.
B.
Pembagian maslahah
Ulama ushul fiqih membagi maslahah kepada tiga bagian
yaitu[6]:
1. Maslahah “dar’ul mafasid”
Maslahah ini sering disebut dengan
masalahah dloruriyat. Yakni segala sesuatu yang essensial sifatnya yang
merupakan kebutuhsn primer bagi manusia dan mau tidak mau harus dilakukan usaha
pemenuhannya jika memang dalam kehidupan tidak diinginkan timbul berbagai
bencana dan kesusahan serta hal-hal yang membuat kehidupan menjadi fatal.
Dalam rangka mewujudkan keamslahatan ini haruslah
dipeliahara lima macam perkara yang dikenal dengan “al-Maqosidul Khomsah”
yaitu:
a. Agama, untuk maksud ini Islam mensyariatkan
jihad unuk mempertahankan aqidah islamiyyah, mewajibkan memerangi orang yang
mencoba menggangu umat Islam dalam menjalankan kewajiban agama dan menghukum
orang yang murtad dari islam dan lain sebagainya.
b. Jiwa, untuk maksud ini Islam mensyariatkan
pemmenuhan kebutuhan biologis manusia berupa sandang, pangan dan papan, begitu
pula; hukum qisas dan diyaat bagi orang yang melakukan kesewenang-wenangan
terhadap keselamatan jiwa orang lain dan lain sebagainya.
c. Akal, untuk maksud ini Islam mensyariatkan
larangan minum-minuman keras dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, dan
menjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang melanggarnya dan lain sebagainya.
d. Keturunan, untuk maksud ini Islam
mensyariatkanlarangan perzinaan, menuduh zina terhadap perempuan muhsonat, dan
menjatuhkan pidana bagi tiap orang yang melakukannya.
e. Harta, untuk maksud ini Islam mensyariatkan
larangan mencuri dan menjatuhkan pidana potong tangan bagi setiap orang yang
melakukannya, begitu pula larangan riba, bagi setiap orang yang membuat rusak atau
hilangnya barang orang lain dan lain sebagainya.
2. Maslahah “jalbul Masalih”
Maslahah ini juga sering disebut “
hajiyaat” yaitu segala sesuatu yang sifatnya merupakan kebutuhan sekunder bagi
manusia ang sehharusnya dilakukan usaha pemenuhannya jika dalam kehidupannya
tidak diinginkan timu berbagai kesulitan, kepicikan dan kema’siatan.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ini antara lain Islam
mensyariatkan hukum-hukum keringanan dalam berbagai lapangan, misalnya
mengqasar dan menjama’ solat dalam perjalanan, tayamum di waktu tidak ada air
membeli barang dengan cara pesanan dengan cara memberikan identitasnya.
3. Tahsiniyat
At tahsiniyat juga sering disebut at
tatamiyat yaitu segala sesuatu yang merupakan kebutuhan komplementer bagi
manusia yang sebaiknya dilakukan usaha pemulihannya jika diinginkan suatu
kesempurnaan dan kelengkapan dalam kehidupan.
Untuk mencapai ini Islam mensyariatkan ketentuan etis
hubungan horizontal dalam masyarakat, pranata-pranata dan berbagai tingkah laku
yang baik dan terpuji menurut pandangan akal yang sehat.
C. Pengertian
Maslahah Mursalah
Secara etimologi, maslahah mursalah terdiri atas dua kata, yaitu
maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa Arab صلح – يصلح menjadi صلحا atau مصلحة yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan.[7] Kata
maslahah juga diartikan sebagai segala sesuatu yang didalamnya terdapat
kemanfaatan bagi manusia. Penulis kitab Lisan Al-Arab mengatakan: al-maslahah
berarti as-shalah (kemaslahatan), kata al-maslahah merupaka bentuk tunggal kata
al-mashalih. Segala sesuatu yang didalamnya terdapat kemanfaatan baik itu
dengan cara diperoleh dan dihasilkan sperti mendapatkan faidah dan kesenangan,
atau dengan menolak seperti menjauhkan diri dari hal-hal yang berbahaya dan
penyakit, maka hal itu pantas disebut maslahah.[8]
Sedangkan kata mursalah berasal dari kata
kerja yang ditashrifkan sehingga menjaadi isim maf’ul, yaitu: ارسل – يرسل – ارسالا – مرسل menjadi مرسل yang berarti diutus, dikirim, atau dipakai
(dipergunakan).
Secara terminologi, Maslahah Mursalah
berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum Islam, atau juga dapat berarti, sesuatu perbuatan yang mengandung nilai
baik (bermanfaat).[9]
Mengingat bahwa tujuan dari maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menolak
kemudharatan yang mana merupakan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat syariat.
Abdul Wahhab Khalaf mendifinisikan bahwa Mashlahah yaitu
sesuatu yang ketentuan hukumnya tidak di gariskan oleh Tuhan dan tidak ada
dalil syara’ yang menunjukkan tentang kebolehan dan tidaknya mashlahah
tersebut.”[10]
Sedangkan Abu Zahrah dalam kitabnya ushul fiqh menyebutkan bahwa Mashlahah
atau istislah yaitu segala kemashlahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan
syari’ (dalam menentukan hukum) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang
menunjukkan tentang diakui atau tidaknya.
Dan Yusuf Musa memberikan pengertian Mashlahah yaitu segala
kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atau
tidaknya akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemadaratan.
D.
Bagaimana Kehujahan
Maslahah Mursalah
Dalam kehujahan
maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul
diantaranya:
a.
Maslahah mursalah tidak dapat
menjadi hujah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyah,
dan sebagian ulama malikiyah.[11]
Dengan alasan:
1.
Bahwa syariat telah memelihara
segala kemashlahatan manusia dengan nash-nash dan petunjuk qiyas. Sebab syari’
tidak akan membiarkan kemashlahatan apapun tanpa sesuatu bukti dari syari’ yang
mengakuinya, sedangkan tidak ada bukti dari syari’, maka pada hakikatnya bukan
kemashlahatan. Namun merupakan mashlahah wahmiyah (dugaan) dan tidak sah
mendasarkan hukum atas kemashlahatan hukum.
2.
Bahwa pembentukan hukum atas
dasar kemutlakan mashlahah berarti membuka pintu hawa nafsu bagi orang yang
menurutinya, sehingga dapat menghalalkan mafsadah (kerusakan) untuk
kemashlahatan. [12]
b.
Maslahah mursalah dapat
menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama maliki dan sebagian ulama
syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama ushul. Jumhur hanafiyah dan syafi’iyah mensyaratkan tentang
maslahah ini yaitu:
1.
Harus merupakan kemashlahatan
hakiki bukan merupakan kedugaan maksudnya, untuk membuktikan bahwa pembentukan
hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan kemanfaatan dan penolakan bahaya.
2.
Kemaslahatan itu bersifat
umum, bukan pribadi. Maksudnya untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada
suatu kasus dapat mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak
bahaya dari mereka bukan untuk kemaslahatan individu atau beberapa orang.
3.
Bahwa pembentukan hukum
berdasarkan kemaslahatan tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang
berdasarkan nash atau ijma’.[13]
c.
Imam Al-Qarafi berkata tentang
maslahah mursalah yaitu sesunggunhnya berhujjah dengan maslahah mursalah
dilakukan oleh semua madzhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka
membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum
yang mengikat.
Diantara ulama yang
paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik
dengan alasan bahwa Allah mengutus utusan-Nya untuk membimbing umat-Nya kepada
kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahan manusia maka
jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’
atau agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik
dunia maupun akhirat.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mashlahah menurut
istilah malikiyah dan istilah al-Ghazali adalah segala sesuatu yang dapat
menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum dan
baginya tidak ada petunjuk syar’i yang menyatakan pengakuan dan penolakan.
Maslahah dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu ;
1. Maslahah “dar’ul mafasid”
2. Maslahah “Jalbul Masalih”
3. Tahsiniyat
Secara terminologi, Maslahah Mursalah
berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum Islam, atau juga dapat berarti, sesuatu perbuatan yang mengandung nilai
baik (bermanfaat).
Berikut ada tiga
kehujjahan maslahah musalah,yaitu :
a.
Maslahah mursalah tidak dapat
menjadi hujah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyah,
dan sebagian ulama malikiyah.
b.
Maslahah mursalah dapat
menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama maliki dan sebagian ulama
syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama ushul.
c.
Imam Al-Qarafi berkata sesunggunhnya berhujjah dengan maslahah
mursalah dilakukan oleh semua madzhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka
membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum
yang mengikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar