Selasa, 13 Juni 2017

Maslahah Mursalah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW hingga masa Imam Syafi’i terdapat kelompok fuqoha yang masyhur dengan pendapatnya. Disisi lain, ada sekelompok fuqoha yang popular dengan periwayatan haditsnya. Sesungguhnya berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari banyak sekali. Selain berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita juga membutuhkan ijma’ para Ulama. Maka dari itu, dengan pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh sehingga setiap permasalahan selalu dapat ditemukan solusinya.
Sementara itu, terbentuknya hukum syar’i adalah untuk mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Segala sesuatu yang mengandung maslahah maka terdapat dalil yang mendukungnya dan setiap ada kemadharatan yang membahayakan, maka terdapat pula dalil yang mencegahnya. Karena sesungguhnya maqsid asy-syari’ah ditunjukkan untuk merealisasikan kebahagiaan haqiqi bagi mereka.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian maslahah?
2.      Apa saja pembagian maslahah?
3.      Bagaimana pengertian maslahah mursalah?
4.      Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maslahah
Maslahah secara bahasa berasal dari kata صلح – يصلح   menjadi  صلحا atau مصلحة yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maslahah merupakan lawan dari mafsadah,sebab maslahah merupakan ungkapan  untuk perbuatan yang didalamnya mengandung kemaslahatan atau kemanfaatan. Kata ini termsuk jenis majaz mursal hubungan sebab-akibat. Maka dikatakan: at-tijaroh maslahah (berdagang itu mendatangkan manfaat) tholabul ilmi maslahah (mencari ilmu itu bermanfaat).[1]
Kata al-mashlahah merupakan bentuk tunggal kata al-masholih. Segala sesuatu yang didalamnya terdapat kemanfaatan, baik itu dengan cara diperoleh dan dihasilkan seperti mendapatkan faidah dan kesenangan, atau dengan menolak seperti menjauhkan diri dari hal-hal berbahaya dan penyakit, maka hal itu pantas disebbut dengan maslahah.[2]
Mashlahah sering juga disebut dengan istilah istidlāl, istislāh. Terhadap istilah ini ulama usul berbeda–beda dalam memberikan definisi.[3]
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya:
1.      Imam Ar-Razi, mendefinisikan maslahah sebagai suatu kemanfaatan yang ditujukan oleh pembuat syariat yang Maha Bijaksana kepada para hamba-Nya yang meliputi penjagaan terhadap agama mereka, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka sesuai dengan urutan yang ditentukan diantara mereka.
2.      Imam Al-Ghazali, mengatakan bahwasannya maslahah adalah suatu ungkapan yang pada asalnya untuk menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan.[4]
Dari dua definisi diatas mempunyai tujuan yang sama, yaitu maslahah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak madharat dan meraih maslahah.
Secara radikal pengungkapan batasan tentang mashlahah sebagaimana tersebut di atas berbeda satu sama lain, akan tetapi kalau diteliti serta diperhatikan kesamaannya mempunyai arti dan maksud yang sama dan saling lengkap-melengkapi satu sama lain dalam memperjelas pengertian serta hakikat mashlahah. Hubungan ini dapat digambarkan sebagai berikut[5] :
1.      Mashlahah adalah sesuatu yang tidak ditunjuk oleh dalil tertentu tentang diakui tidaknya.
2.      Mashlahah harus sejalan dan senafas dengan maksud-maksud syara’ (Allah) dalam mensyari’atkan hukum.
3.      Mashlahah dalam realisasinya harus dapat menarik maslahah dan menolak madarat.
4.      Mashlahah harus dapat dicapai dan diterima secara logis oleh akal sehat.
        Dengan tetap memperhatikan semua batasan yang tersebut di atas serta hubungannya satu sama lain dapatlah disimpulkan bahwa Mashlahah menurut istilah malikiyah dan istilah al-Ghazali adalah segala sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan dengan   tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum dan baginya tidak ada petunjuk syar’i yang menyatakan pengakuan dan penolakan.

B.     Pembagian maslahah
Ulama ushul fiqih membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu[6]:
1.      Maslahah “dar’ul mafasid”
Maslahah ini sering disebut dengan masalahah dloruriyat. Yakni segala sesuatu yang essensial sifatnya yang merupakan kebutuhsn primer bagi manusia dan mau tidak mau harus dilakukan usaha pemenuhannya jika memang dalam kehidupan tidak diinginkan timbul berbagai bencana dan kesusahan serta hal-hal yang membuat kehidupan menjadi fatal.
Dalam rangka mewujudkan keamslahatan ini haruslah dipeliahara lima macam perkara yang dikenal dengan “al-Maqosidul Khomsah” yaitu:
a.          Agama, untuk maksud ini Islam mensyariatkan jihad unuk mempertahankan aqidah islamiyyah, mewajibkan memerangi orang yang mencoba menggangu umat Islam dalam menjalankan kewajiban agama dan menghukum orang yang murtad dari islam dan lain sebagainya.
b.      Jiwa, untuk maksud ini Islam mensyariatkan pemmenuhan kebutuhan biologis manusia berupa sandang, pangan dan papan, begitu pula; hukum qisas dan diyaat bagi orang yang melakukan kesewenang-wenangan terhadap keselamatan jiwa orang lain dan lain sebagainya.
c.       Akal, untuk maksud ini Islam mensyariatkan larangan minum-minuman keras dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, dan menjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang melanggarnya dan lain sebagainya.
d.      Keturunan, untuk maksud ini Islam mensyariatkanlarangan perzinaan, menuduh zina terhadap perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana bagi tiap orang yang melakukannya.
e.       Harta, untuk maksud ini Islam mensyariatkan larangan mencuri dan menjatuhkan pidana potong tangan bagi setiap orang yang melakukannya, begitu pula larangan riba, bagi setiap orang yang membuat rusak atau hilangnya barang orang lain dan lain sebagainya.
2.      Maslahah “jalbul Masalih”
Maslahah ini juga sering disebut “ hajiyaat” yaitu segala sesuatu yang sifatnya merupakan kebutuhan sekunder bagi manusia ang sehharusnya dilakukan usaha pemenuhannya jika dalam kehidupannya tidak diinginkan timu berbagai kesulitan, kepicikan dan kema’siatan.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ini antara lain Islam mensyariatkan hukum-hukum keringanan dalam berbagai lapangan, misalnya mengqasar dan menjama’ solat dalam perjalanan, tayamum di waktu tidak ada air membeli barang dengan cara pesanan dengan cara memberikan identitasnya.
3.      Tahsiniyat
At tahsiniyat juga sering disebut at tatamiyat yaitu segala sesuatu yang merupakan kebutuhan komplementer bagi manusia yang sebaiknya dilakukan usaha pemulihannya jika diinginkan suatu kesempurnaan dan kelengkapan dalam kehidupan.
Untuk mencapai ini Islam mensyariatkan ketentuan etis hubungan horizontal dalam masyarakat, pranata-pranata dan berbagai tingkah laku yang baik dan terpuji menurut pandangan akal yang sehat.

C.    Pengertian Maslahah Mursalah
Secara etimologi, maslahah mursalah terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa Arab صلح – يصلح  menjadi صلحا  atau مصلحة  yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan.[7] Kata maslahah juga diartikan sebagai segala sesuatu yang didalamnya terdapat kemanfaatan bagi manusia. Penulis kitab Lisan Al-Arab mengatakan: al-maslahah berarti as-shalah (kemaslahatan), kata al-maslahah merupaka bentuk tunggal kata al-mashalih. Segala sesuatu yang didalamnya terdapat kemanfaatan baik itu dengan cara diperoleh dan dihasilkan sperti mendapatkan faidah dan kesenangan, atau dengan menolak seperti menjauhkan diri dari hal-hal yang berbahaya dan penyakit, maka hal itu pantas disebut maslahah.[8]
Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditashrifkan sehingga menjaadi isim maf’ul, yaitu: ارسل – يرسل – ارسالا – مرسل  menjadi مرسل  yang berarti diutus, dikirim, atau dipakai (dipergunakan).
Secara terminologi, Maslahah Mursalah berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam, atau juga dapat berarti, sesuatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[9] Mengingat bahwa tujuan dari maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan yang mana merupakan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat syariat.
Abdul Wahhab Khalaf mendifinisikan bahwa Mashlahah yaitu sesuatu yang ketentuan hukumnya tidak di gariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan tentang kebolehan dan tidaknya mashlahah tersebut.”[10]
Sedangkan Abu Zahrah dalam kitabnya ushul fiqh menyebutkan bahwa Mashlahah atau istislah yaitu segala kemashlahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam menentukan hukum) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakui atau tidaknya.
Dan Yusuf Musa memberikan pengertian Mashlahah yaitu segala kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atau tidaknya akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemadaratan.
D.    Bagaimana Kehujahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul diantaranya:
a.       Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyah, dan sebagian ulama malikiyah.[11] Dengan alasan:
1.      Bahwa syariat telah memelihara segala kemashlahatan manusia dengan nash-nash dan petunjuk qiyas. Sebab syari’ tidak akan membiarkan kemashlahatan apapun tanpa sesuatu bukti dari syari’ yang mengakuinya, sedangkan tidak ada bukti dari syari’, maka pada hakikatnya bukan kemashlahatan. Namun merupakan mashlahah wahmiyah (dugaan) dan tidak sah mendasarkan hukum atas kemashlahatan hukum.
2.      Bahwa pembentukan hukum atas dasar kemutlakan mashlahah berarti membuka pintu hawa nafsu bagi orang yang menurutinya, sehingga dapat menghalalkan mafsadah (kerusakan) untuk kemashlahatan. [12]
b.      Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama maliki dan sebagian ulama syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur hanafiyah dan syafi’iyah mensyaratkan tentang maslahah ini yaitu:
1.      Harus merupakan kemashlahatan hakiki bukan merupakan kedugaan maksudnya, untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan kemanfaatan dan penolakan bahaya.
2.      Kemaslahatan itu bersifat umum, bukan pribadi. Maksudnya untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka bukan untuk kemaslahatan individu atau beberapa orang.
3.      Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang berdasarkan nash atau ijma’.[13]
c.       Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah yaitu sesunggunhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua madzhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan bahwa Allah mengutus utusan-Nya untuk membimbing umat-Nya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahan manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’ atau agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.[14]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
       Mashlahah menurut istilah malikiyah dan istilah al-Ghazali adalah segala sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan dengan   tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum dan baginya tidak ada petunjuk syar’i yang menyatakan pengakuan dan penolakan.
Maslahah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ;
1.      Maslahah “dar’ul mafasid”
2.      Maslahah “Jalbul Masalih”
3.      Tahsiniyat  
Secara terminologi, Maslahah Mursalah berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam, atau juga dapat berarti, sesuatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Berikut ada tiga kehujjahan maslahah musalah,yaitu :
a.       Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyah, dan sebagian ulama malikiyah.
b.      Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama maliki dan sebagian ulama syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
c.       Imam Al-Qarafi berkata  sesunggunhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua madzhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.



[1] Chaerul umam dkk.. Ushul Fiqih 1, Bandung, CV pustaka setia, 2000, Hal. 135
[2] Abdul hay badul ‘al, Pengantar Ushul Fiqih, Jakarta: pustaka al-kautsar, 2014 Hal. 313
[3] Saifuddinn zuhri, Ushul fiqih, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011, Hal. 82
[4] Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih,Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014, hlm. 315
[5] Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Jakarta: pustaka al-kautsar, 2014, Hal. 84
[6] Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih,.. Hal. 104
[7] Chaerul Uman, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Hlm. 135
[8] Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014, Hlm. 313
[9] Chaerul Uman, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Hlm. 135
[10] Abdul wahhab khallaf, Ilmu ushul fiqih, Semarang, PT karya toha pura, 2014, Hal.139
[11] Chaerul umam dkk.. ushul fiqih 1. Bandung. CV pustaka setia. 2000. Hal.141
[12] Abdul wahhab khallaf. Ilmu ushul fiqih. Semarang. PT karya toha pura. 2014. Hal.146
[13] Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul fiqih, Semarang, PT karya toha pura, 2014. Hal. 143
[14] Chaerul Uman, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV, Pustaka Setia, 2000, Hlm. 142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar