Sabtu, 10 Juni 2017

Rasm Alquran dan Ilmu Qiro'at



BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasmul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman  pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ustman ra.
Al-Qur’an rasm utsmani yang keberadaannya tidak bertitik dan tidak berharakat. Hal tersebut membuka peluang munculnya berbagai cara dalam pembacaan Al-Qur’an (qira’at). Sehingga perlu kajian yang mendalam tentang ilmu Qira’at
Makalah yang kami buat, membahas tentang rasmul Qur’an dan ilmu Qira’at serta keterkaitan antara keduanya.

B.                 Rumusan Masalah
1.      Penegertian Rasm Al-qur’an
2.      Pendapat Ulama tentang Rasmul Qur’an
3.      Pengertian Qira’at
4.      Latar Belakang Qira’at
5.      Macam-macam Qira’at
6.      Syarat-syarat Sahnya Qira’at
7.      Manfaat Perbedaan Qira’at
8.      Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at

C.                Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an. Dan untuk memahami lebih jauh tentang Rasmul Qur’an dan pendapat ulama tentang rasmul Qur’an. Dan untuk memahami pengertian, macam-macam, serta manfa’at Ilmu Qira’at serta keterkaitan antara Rasmul Qur’an dan ilmu Qira’at.                       
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rasmul Quran
Istilah rasmul quran terdiri dari dua kata yaitu rasm dan Al-Quran. Kata rasm berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan dengan ‘atsar dan ‘alamah. Sedangkan al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan perantara malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir dan mempelajarinya merupakan sebuah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Dengan demikian rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Para ulama lebih cenderung menamakanya dengan rasmul mushaf. Adapula yang menyebutnya dengan rasmul utsmani, karena pada khalifahan utsmanlah awal pengumpulan dan dituliskanya al-quran dalam satu mushaf.
Rasmul Qur’an merupakan ketentuan-ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat-sahabat lainya dalam penulisan al-Quran yang berkaitan dengan susunan huruf-huruf yang berada dalam mushaf-mushaf yang dikirim keberbagai daerah dan kota serta mushaf al-Imam yang berada di tangan khalifah Utsman bin Affan itu sendiri. [1]
Rasm Usmani disebut juga Rasmul qur’an adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah Utsman bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Kaidah ini teringkas dalam enam kaidah:[2] 
1.      Al–Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَآَ يها النا س ).
2.      Al-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3.      Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
4.      Badal (penggantian),  seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.      Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.      Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).

B.     Pendapat Ulama Tentang Rasmul Quran
Beragam pendapat tentang rasmul quran berkaitan dengan permasalahan apakah rasmul Quran merupakan taufiqi dari nabi Muhammad saw. ataukah bukan. Mengenai permasalahan ini, terdapat dua dua pendapat dikalangan ulama :
1.      Pendapat yang menyatkan taufiqy
Menurut kelompok ini, rasmul quran adalah taufiqy dan metode penulisanya dinyatakan sendiri oleh Rasulullah saw. beliau lah yang menyuruh mereka menulis rasmul Qur’an itu dalam bentuk yang dikenal sampai sekarang. Termasuk tambahan huruf “alif” dan penguranganya,  hal ini sama halnya dengan susunan al-Qur’an itu mu’jiz (membuat lawan tidak berdaya), maka Rasmul Qur’an itu juga mu’jiz.
Pendapat tersebut didasarkan pada suatu riwayat bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda kepada Muawiyah, salah seorang pencatat wahyu, bahwa “ambillah tinta, tulislah huruf-huruf dengan qolam (pena), rentangkan huruf “baa”. Bedakan dengan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz Allah yang baik, panjangkan lafat “arrahmaan” dan tulislah lafat “ar-rahiim” yang indah, kemudian letakkan qolammu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat engkau.
Pendapat pertama ini dianut dan dipertahankan oleh Ibnu Mubarak yang sependapat dengan gurunya Abdul Aziz ad-Dabbagh. Ia mengatakan bahwa tidak seujung rambutpun huruf al-Qur’an yang ditulis atas kehendak seorang sahabat nabi atau yang lainya. [3]
2.      Pendapat yang menyatakan bukan taufiqy
                 Kelompok kedua ini berpandangan bahwa, Rasmul qur’an tersebut tidak masuk akal kalau dikatakan taufiqy. Pendapat ini dipelopori oleh Qodhi Abu al-Baqilani. Ia mengatakan bahwa mengenai tulisan al-Quran, Allah swt. Sama sekali tidak mewajibkan kepada umat islam dan tidak melarang para penulis al-Qur’an untuk menggunakan rasmul selama itu (baca: Utsman Bin Affan). Yang dikatakan kewajiban hanyalah diketahui dari berita-berita yang didengar. Kewajiban itu tidak terdapat dalam Nash al-Quran maupun hadits nabi Muhammad saw. tidak ada petunjuk khusus yang mengisyaratkan bahwa penulisan Rasmul Qur’an dan pencatatan serta penulisan hanya dilakukan dalam bentuk khusus atau dengan cara tertentu yang tidak boleh ditinggalkan, demikian pula dengan ijma ulama. Bahkan sunah Rasulullah saw. memberikan isyarat bahwa dibolehkanya penulisan al-Quran dengan rasm yang paling mudah. Karena Rasulullah saw. memerintahkan penulisanya tanpa menjelaskan bentuk rasm tertentu dan beliau tidak melarang siapapun yang menulis al-Qur’an. Sehingga bentuk tulisan (rasm) pun berbeda-beda. Maka sangatlah memungkinkan al-Quran ditulis dengan huruf kufi dan huruf dizaman kuno. Setiap orang diperbolehkan untuk menulis mushaf dengan cara yang sudah lazim dan menjadi kebiasaannya atau dengan caranya sendiri yang dianggap lebih mudah.[4]



C.    Pengertian Qira’at
            Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
            Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
            Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.[5]
            Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
            Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
            Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
            Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘an Nafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
            Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.[6]

D.    Latar Belakang Qira’at
Pada zaman Nabi SAW, sahabat dan umat beliau waktu itu memperoleh ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mendengarkan, membaca dan menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Barulah pada masa khalifah Abu Bakar Ash Siddiq r.a, Alquran mulai dibukukan dalam satu mushaf atas saran dari Umar bin Khattab r.a. Abu Bakar Ash Siddiq memerintahkan Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an dan ditulis dalam satu mushaf. Pembukuan Al-Qur’an ini berlangsung sampai khalifah Ustman bin Affan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan r.a terdapat perselisihan sesama kaum muslimin mengenai bacaan Al-Qur’an yang hampir menimbulkan perang saudara sesama muslim. Perselisihan ini disebabkan mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur’an karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Namun mereka tidak memahami maksud Nabi melakukan hal tersebut sehingga tiap suku/golongan menganggap bacaan mereka yang paling benar sedangkan yang lain salah. Untuk mengatasi perselisihan, khalifah Ustman bin Affan r.a memerintahkan untuk menyalin mushaf Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash Siddiq dan memperbanyaknya kemudian mengirimkan ke berbagai daerah.[7]

E.     Macam-macam Qiraat 
Berdasarkan penelitian, kualitas, Qiraat dapat dikelompokkan sebagai berikut:[8]
1.    Qira’at Mutawatir
 yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang ada masuk dalam bagian ini.
2.      Qira’at Masyhur
 yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qira’at dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qira’at semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qira’at.
3.    Qira’at Ahad
yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.
4.    Qira’at Syadz (menyimpang),
yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini.
5.    Qira’at Maudhu’ (palsu), seperti qira’at al-Khazzani
6.    Qira’at  Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qira’at Abi Waqqash.

F.     Syarat-Syarat Sahnya Qira’at
            Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qira’at. Yaitu:
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
            Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi  qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
            Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
            Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.[9]

G.    Manfaat Perbedaan Qira’at
            Adanya bermacam-macam qira’at seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu:[10]
1.    Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qira’at saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qira’at yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasm mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4.    Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qira’at menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafadz.
5.    Meluruskan ‘aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
            Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
6.    Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad  SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan beberapa qira’at.
H.    Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at
Pada pembahasan sebelumnya, telah diketahui bahwa syarat diterimanya suatu qiraat salah satunya sesuai dengan rasm Utsmani. Jika suatu qiraat bersanad shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun menyalahi rasm Utsmani maka qira’at itu disebut qiraat syazzat. Sebab demikianlah pengetian qira’at syazzat yang dikenal dikalangan para ahli qira’at sekarang.
Selain itu, hubungan rasm dan qira’at bisa dilihat dari segi pola penyusunannya. Munculnya rasm mengikuti qira’at. Dan bukan qira’at yang mengikuti rasm. Sebab, kemunculan rasm Utsmani baru pada periode khalifah Utsman. Keadaan rasm utsmani yang tanpa titik dan syakal memungkinkan untuk dibaca dengan berbagai qira’at.  Sehingga mampu mengakomodasi perbedaan bacaan yang ada.[11]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istilah Rasmul Qur’an terdiri dari dua kata yaitu rasm dan Al-Qur’an. Kata rasm berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan dengan ‘atsar dan ‘alamah. Sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan perantara malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir dan mempelajarinya merupakan sebuah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Beragam pendapat tentang rasmul Qur’an berkaitan dengan permasalahan apakah Rasmul Quran merupakan taufiqi dari nabi Muhammad saw. ataukah bukan.
            Ilmu qiro’ah juga memberikan pengertian perbedaan cara membaca Al-Quran, dengan berbagai macam cara pembacaannya.
Keterkaitan ilmu Rasmul-Qur’an dengan ilmu Qira’at adalah karena Rasmul Utsmani tidak memiliki titik dan harakat sehingga perbedaan cara menbaca dapat ditampung oleh Rasm Utsmani. Dan rasm Al-Qur’an mengikuti berbagai macam cara membaca Al-Qur’an.

B.     Kritik dan Saran
Makalah sederhana ini pastilah mempunyai banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Maha Kuasa dan juga penulis masih dalam tahap belajar dan tentunya mengharapkan sekali kritik maupun saran dari pembaca yang dapat membangun dan mengembangkan kualitas penulis khususnya dalam menulis sebuah makalah.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. 2013. ulum Al-Qur’an, bandung: CV.Pustak Setia.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasby. 2013. Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Kementrian Agama Jawa Tengah, at-tafsir wa ulumuhu.
darismah.blogspot.co.id/2012/12/makalah-ilmu-qiraat-alquran, diakses pada tanggal 12 desember 2016


[1] Rosihon Anwar, ulum al-Qur’an, bandung, CV.Pustak Setia, 2013, hlm.55
[2] Ibid., hlm. 49
[3] Muhammad Hasby ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, semarang, pustaka rizki putra, 2013, hlm.  149-150
[4] Ibid., hlm. 153-154
[5] Rosihon anwar, op. Cit., hlm. 140-141
[6] darismah.blogspot.co.id/2012/12/makalah-ilmu-qiraat-alquran, diakses pada tanggal 12 desember 2016
[7] Rosihon anwar, op. Cit., hlm. 147
[8] Kementrian agama jawa tengah, at-tafsir wa ulumuhu, hlm. 22
[9] Kementrian agama, op. Cit., hlm. 22
[10] Ibid., hlm 23
[11] Rosihon anwar, op. Cit., hlm. 53-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar