BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an yang mana
di dalamnya mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan
dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk
huruf yang digunakan. Rasmul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina
utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan
al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman pada tahun
25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan “Rasmul
‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ustman ra.
Al-Qur’an rasm utsmani yang keberadaannya tidak bertitik dan tidak
berharakat. Hal tersebut membuka peluang munculnya berbagai cara dalam
pembacaan Al-Qur’an (qira’at). Sehingga perlu kajian yang mendalam tentang ilmu
Qira’at
Makalah yang kami buat, membahas tentang rasmul Qur’an dan ilmu Qira’at
serta keterkaitan antara keduanya.
B.
Rumusan Masalah
1. Penegertian Rasm Al-qur’an
2. Pendapat Ulama tentang
Rasmul Qur’an
3.
Pengertian Qira’at
4.
Latar Belakang Qira’at
5.
Macam-macam Qira’at
6.
Syarat-syarat Sahnya Qira’at
7.
Manfaat Perbedaan Qira’at
8.
Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at
C.
Tujuan
Tujuan
dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an.
Dan untuk memahami lebih jauh tentang Rasmul Qur’an dan pendapat ulama tentang
rasmul Qur’an. Dan untuk memahami pengertian, macam-macam, serta manfa’at Ilmu Qira’at
serta keterkaitan antara Rasmul Qur’an dan ilmu Qira’at.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Rasmul Quran
Istilah rasmul quran terdiri dari
dua kata yaitu rasm dan Al-Quran. Kata rasm
berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan dengan ‘atsar dan ‘alamah.
Sedangkan al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw., dengan perantara malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan
disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir dan mempelajarinya merupakan
sebuah ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas.
Dengan
demikian rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Para ulama lebih
cenderung menamakanya dengan rasmul mushaf. Adapula yang menyebutnya dengan
rasmul utsmani, karena pada khalifahan utsmanlah awal pengumpulan dan
dituliskanya al-quran dalam satu mushaf.
Rasmul Qur’an
merupakan ketentuan-ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan
beserta sahabat-sahabat lainya dalam penulisan al-Quran yang berkaitan dengan
susunan huruf-huruf yang berada dalam mushaf-mushaf yang dikirim keberbagai
daerah dan kota serta mushaf al-Imam yang berada di tangan khalifah Utsman bin
Affan itu sendiri. [1]
Rasm Usmani disebut juga Rasmul qur’an adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an
yang ditetapkan pada masa khlalifah Utsman bin Affan. Istilah rasmul Qur’an
diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang
ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman
ditulis dengan kaidah tertentu.
1. Al–Hadzf (membuang,menghilangkan,
atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَآَ يها
النا س ).
2. Al-Ziyadah (penambahan),
seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا
ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah
(hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله
تفتؤا).
3. Al-Hamzah,
Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan
huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
4. Badal (penggantian),
seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5. Washal dan fashl (penyambungan
dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan
disambung ( كلما ).
6. Kata yang
dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya
disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan
kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم
الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan
alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat
(yakni dibaca satu alif).
B. Pendapat Ulama Tentang Rasmul Quran
Beragam
pendapat tentang rasmul quran berkaitan dengan permasalahan apakah rasmul Quran
merupakan taufiqi dari nabi Muhammad saw. ataukah bukan. Mengenai permasalahan
ini, terdapat dua dua pendapat dikalangan ulama :
1. Pendapat yang menyatkan taufiqy
Menurut
kelompok ini, rasmul quran adalah taufiqy dan metode penulisanya dinyatakan
sendiri oleh Rasulullah saw. beliau lah yang menyuruh mereka menulis rasmul Qur’an
itu dalam bentuk yang dikenal sampai sekarang. Termasuk tambahan huruf “alif”
dan penguranganya, hal ini sama halnya dengan susunan al-Qur’an itu mu’jiz
(membuat lawan tidak berdaya), maka Rasmul Qur’an itu juga mu’jiz.
Pendapat
tersebut didasarkan pada suatu riwayat bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda
kepada Muawiyah, salah seorang pencatat wahyu, bahwa “ambillah tinta, tulislah
huruf-huruf dengan qolam (pena), rentangkan huruf “baa”. Bedakan dengan huruf
“siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz Allah yang baik,
panjangkan lafat “arrahmaan” dan tulislah lafat “ar-rahiim” yang indah,
kemudian letakkan qolammu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat engkau.
Pendapat
pertama ini dianut dan dipertahankan oleh Ibnu Mubarak yang sependapat dengan
gurunya Abdul Aziz ad-Dabbagh. Ia mengatakan bahwa tidak seujung rambutpun huruf
al-Qur’an yang ditulis atas kehendak seorang sahabat nabi atau yang lainya. [3]
2. Pendapat yang menyatakan bukan taufiqy
Kelompok kedua ini berpandangan bahwa, Rasmul qur’an tersebut tidak masuk akal
kalau dikatakan taufiqy. Pendapat ini dipelopori oleh Qodhi Abu al-Baqilani. Ia
mengatakan bahwa mengenai tulisan al-Quran, Allah swt. Sama sekali tidak
mewajibkan kepada umat islam dan tidak melarang para penulis al-Qur’an untuk
menggunakan rasmul selama itu (baca: Utsman Bin Affan). Yang dikatakan
kewajiban hanyalah diketahui dari berita-berita yang didengar. Kewajiban itu
tidak terdapat dalam Nash al-Quran maupun hadits nabi Muhammad saw. tidak ada
petunjuk khusus yang mengisyaratkan bahwa penulisan Rasmul Qur’an dan
pencatatan serta penulisan hanya dilakukan dalam bentuk khusus atau dengan cara
tertentu yang tidak boleh ditinggalkan, demikian pula dengan ijma ulama. Bahkan
sunah Rasulullah saw. memberikan isyarat bahwa dibolehkanya penulisan al-Quran
dengan rasm yang paling mudah. Karena Rasulullah saw. memerintahkan penulisanya
tanpa menjelaskan bentuk rasm tertentu dan beliau tidak melarang siapapun yang
menulis al-Qur’an. Sehingga bentuk tulisan (rasm) pun berbeda-beda. Maka
sangatlah memungkinkan al-Quran ditulis dengan huruf kufi dan huruf dizaman
kuno. Setiap orang diperbolehkan untuk menulis mushaf dengan cara yang sudah
lazim dan menjadi kebiasaannya atau dengan caranya sendiri yang dianggap lebih
mudah.[4]
C. Pengertian Qira’at
Menurut
bahasa, qira’at (قراءات)
adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
Pengertian
qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan
makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan
diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
Qira’at menurut al-Zarkasyi
merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya
maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan
lain-lain.
Dari pengertian di atas, tampaknya
al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan
qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat
terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.[5]
Al-Zarqani
memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang
imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan
al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu
perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam
membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at,
riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara
qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
Qira’at adalah bacaan yang
disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau
empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain
sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang
disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh
atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan
Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘an Nafi’ atau riwayat Warsy ‘an
Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah
adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari
periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy
mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq
‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan
qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.[6]
D. Latar Belakang Qira’at
Pada zaman Nabi SAW, sahabat dan umat beliau waktu itu
memperoleh ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mendengarkan, membaca dan
menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Barulah pada masa khalifah
Abu Bakar Ash Siddiq r.a, Alquran mulai dibukukan dalam satu mushaf atas saran
dari Umar bin Khattab r.a. Abu Bakar Ash Siddiq memerintahkan Zaid bin Sabit
untuk mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an dan ditulis dalam satu mushaf.
Pembukuan Al-Qur’an ini berlangsung sampai khalifah Ustman bin Affan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan r.a
terdapat perselisihan sesama kaum muslimin mengenai bacaan Al-Qur’an yang
hampir menimbulkan perang saudara sesama muslim. Perselisihan ini disebabkan
mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur’an karena oleh Nabi
diajarkan cara bacaan yang sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Namun
mereka tidak memahami maksud Nabi melakukan hal tersebut sehingga tiap
suku/golongan menganggap bacaan mereka yang paling benar sedangkan yang lain
salah. Untuk mengatasi perselisihan, khalifah Ustman bin Affan r.a
memerintahkan untuk menyalin mushaf Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash Siddiq
dan memperbanyaknya kemudian mengirimkan ke berbagai daerah.[7]
E. Macam-macam Qiraat
Berdasarkan penelitian, kualitas, Qiraat dapat
dikelompokkan sebagai berikut:[8]
1. Qira’at Mutawatir
yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai
akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang
ada masuk dalam bagian ini.
2. Qira’at
Masyhur
yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan
kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qira’at dari
tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya
meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qira’at semacam
ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qira’at.
3. Qira’at Ahad
yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani
dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana
ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Qira’at Syadz (menyimpang),
yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak
kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini.
5. Qira’at Maudhu’ (palsu),
seperti qira’at al-Khazzani
6. Qira’at Mudraj (sisipan),
yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qira’at Abi
Waqqash.
F. Syarat-Syarat Sahnya Qira’at
Para ulama menetapkan tiga syarat
sah dan diterimanya qira’at. Yaitu:
1. Sesuai dengan salah
satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan
tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan
salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari
segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun
sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang
lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan
diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara yang dimaksud dengan
“sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat
itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang
dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada
masa itu.
Mengenai maksud dari
“shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan
shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.[9]
G. Manfaat Perbedaan Qira’at
Adanya bermacam-macam qira’at
seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu:[10]
1.
Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal
diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku
yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan
sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu
diturunkan dalam satu qira’at saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku
lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2. Menunjukkan betapa
terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan,
padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan
hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qira’at yang lain, baik qira’at
itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasm
mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu
lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari
lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah
(62): 9:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat
dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4.
Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap
qira’at menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan
lafadz.
5.
Meluruskan ‘aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran
tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا
رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan
lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin
akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
6.
Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad SAW atas
umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan
satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan
beberapa qira’at.
H. Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at
Pada pembahasan sebelumnya, telah diketahui
bahwa syarat diterimanya suatu qiraat salah satunya sesuai dengan rasm Utsmani.
Jika suatu qiraat bersanad shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun
menyalahi rasm Utsmani maka qira’at itu disebut qiraat syazzat. Sebab
demikianlah pengetian qira’at syazzat yang dikenal dikalangan para ahli
qira’at sekarang.
Selain itu, hubungan rasm dan qira’at bisa dilihat dari segi pola
penyusunannya. Munculnya rasm mengikuti qira’at. Dan bukan qira’at yang
mengikuti rasm. Sebab, kemunculan rasm Utsmani baru pada periode khalifah
Utsman. Keadaan rasm utsmani yang tanpa titik dan syakal memungkinkan untuk
dibaca dengan berbagai qira’at. Sehingga
mampu mengakomodasi perbedaan bacaan yang ada.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah Rasmul
Qur’an terdiri dari dua kata yaitu rasm dan Al-Qur’an. Kata rasm berarti bentuk
tulisan. Dapat juga diartikan dengan ‘atsar dan ‘alamah. Sedangkan al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan perantara
malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada umat
manusia secara mutawatir dan mempelajarinya merupakan sebuah ibadah, dimulai
dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Beragam pendapat
tentang rasmul Qur’an berkaitan dengan permasalahan apakah Rasmul Quran
merupakan taufiqi dari nabi Muhammad saw. ataukah bukan.
Ilmu qiro’ah juga memberikan
pengertian perbedaan cara membaca Al-Quran, dengan berbagai macam cara pembacaannya.
Keterkaitan
ilmu Rasmul-Qur’an dengan ilmu Qira’at adalah karena Rasmul Utsmani tidak
memiliki titik dan harakat sehingga perbedaan cara menbaca dapat ditampung oleh
Rasm Utsmani. Dan rasm Al-Qur’an mengikuti berbagai macam cara membaca
Al-Qur’an.
B. Kritik dan Saran
Makalah sederhana ini pastilah mempunyai banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Maha Kuasa dan juga
penulis masih dalam tahap belajar dan tentunya mengharapkan sekali kritik
maupun saran dari pembaca yang dapat membangun dan mengembangkan kualitas
penulis khususnya dalam menulis sebuah makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosihon. 2013. ulum Al-Qur’an, bandung: CV.Pustak Setia.
Ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasby. 2013. Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Kementrian
Agama Jawa Tengah, at-tafsir wa ulumuhu.
darismah.blogspot.co.id/2012/12/makalah-ilmu-qiraat-alquran, diakses pada
tanggal 12 desember 2016
[2] Ibid., hlm. 49
[3] Muhammad Hasby
ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, semarang, pustaka rizki putra, 2013,
hlm. 149-150
[5] Rosihon anwar, op. Cit., hlm. 140-141
[6] darismah.blogspot.co.id/2012/12/makalah-ilmu-qiraat-alquran,
diakses pada tanggal 12 desember 2016
[7] Rosihon anwar, op. Cit., hlm. 147
[9] Kementrian agama, op. Cit., hlm. 22
[11] Rosihon anwar, op. Cit., hlm. 53-54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar